Blog Tips dan Trik Sarung

Di Balik Makna Keterikatan Sarung dan Santri

Sarung sebagai simbol identitas santri dan Muslim di Indonesia. (Ilustrasi)
Sarung sebagai simbol identitas santri dan Muslim di Indonesia. (Ilustrasi)

Suatu ketika, seorang sarjana hukum yang juga dosen Universitas Brawijaya (UB), menarik perhatian sejumlah akademisi di Universitas Leiden, Belanda. Saat itu, awal tahun 2017, Fachrizal Afandi, dosen universitas terkemuka di kota Malang itu, berhasil mempertahankan di Negeri Belanda.

Ia menarik perhatian karena tampil unik. Dengan mengenakan peci dan sarung saat sidang mempertahankan penelitiannya itu. Fachrizal mengaku bahwa hal itu terinspirasi pernyataan Sultan Hamengkubuwono IX.

"Saya terinspirasi kata-kata Hamengkubowono IX, 'Al heb ik een uitgesproken Westersche opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan', meski saya menyelesaikan pendidikan di barat, tapi pertama-tama saya adalah orang Jawa".

Memang, meski lulus doktor hukum di Universitas Leiden, latar belakangnya sebagai seorang santri tidak luntur. "Saya berawal dari keluarga santri dan akan tetap menjadi santri sampai akhir hayat nanti," tuturnya.

Saat mengajukan diri mengenakan pakaian tersebut ke pihak kampus, ia tidak mendapat penolakan. Bahkan, kampus mendukungnya. Sebab, hal itu merupakan bentuk identitas dan tradisi.

"Kampus mendukung karena ini bagian dari identitas tradisi," ujar alumnus Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur'an (PIQ) Malang di bawah asuhan KH Bashori Alwi (Allayarham) itu.

Disertasi yang ia susun membahas soal Jaksa Umum di Negara Pascaotoritarian, Kasus Indonesia. Ia dibimbing Adrian W Bedner dan Jan H Crijns. Keberhasilan pendidikan tinggi hingga ke Negeri Belanda tak kemudian menjadikan indentitas kepribadian Fachrizal Afandi, luntur. Ia tetaplah seorang santri dan seorang Muslim dari Indonesia, yang membawa indentitas Jawanya.

Hingga kini, Fachrizal Afandi masih setia mengajar Ilmu Hukum di almamaternya, Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Sejarah Simbol Identitas Santri

Sarung adalah sepotong kain lebar yang dijahit kedua ujungnya berbentuk pipa atau tabung. Ia digunakan dengan dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh. Pakaian ini sudah menjadi bagian dari warisan budaya nusantara dengan ragam motif, bahan dan bentuk pemakaiannya.

Bagi kalangan santri, sarung adalah pakaian wajib yang menjadi ciri khas komunitas ini. Seolah menjadi hal yang tak terpisahkan antara santri dan sarung. Sarung digunakan di setiap aktifitas santri bahkan tidur sekalipun. Sarung seolah tidak bisa terlepas dari badan santri. Melalui komunitas santri inilah warisan budaya nusantara ini dilestarikan dan dijaga sebagai identitas bangsa ini.

Namun, tidak hanya sebagai pelestarian dari budaya, sarung bagi kalangan santri juga mempunyai historisitas perlawanan. Memakai sarung adalah bentuk kebanggaan terhadap identitas dan martabat bangsa dan perlawanan terhadap penjajahan.

Kolonialisme Belanda pada zamannya tidak hanya menjajah fisik, tetapi juga pikiran dan budaya masyarakat nusantara. Pendidikan ala barat dikenalkan hingga cara berpakaiannya. Sebagian pejuang kemerdekaan tentu dengan semangat nasionalisme yang tidak diragukan banyak memilih mengadaptasi budaya Barat dalam melawan, tetapi kalangan santri justru melawan dengan kebangaan budaya nusantara, sarung.

Santri Bangga Memakai Sarung

Memilih memakai sarung adalah pilihan sekaligus ijtihad perlawanan. Di kalangan pesantren muncul fatwa-fatwa tentang keharaman untuk meniru apalagi bersekongkol dengan pihak penjajah dan teriakan jihad untuk

melawan non-Muslim. Salah satu pesan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW) dalam Haditsnya, misalnya yang dijadikan sandaran adalah “barang siapa yang menyerupai golongan maka ia masuk dalam golongan tersebut ” (Hr. Abu daud dan Ibnu Hibban).

Bagi kalangan pesantren, kedatangan pihak kolonial dimaknai tidak hanya ingin meneguk kekayaan dan kekuasaan, tapi sekaligus ingin menyebarkan

kepercayaan agama Kristen. Penjajahan tersebut menimbulkan resistensi dari pihak pribumi salah satunya adalah kelompok atau komunitas pesantren yang diwakili oleh kiai, ulama dan santri.

Dalam proses perlawanan tersebut, pihak kolonial menganggap pesantren sebagai batu sandungan yang sangat mengganjal baik dalam menyebarkan agama Kristen atau dalam kepentingan politik sosial, dan ekonomi.

Kalangan pesantren mendudukkan kolonial tidak hanya sebagai penjajah, tetapi orang-orang kafir. Jika mengikuti dan menyerupai orang kafir berarti menjadi bagian dari kelompok tersebut. Salah satu narasi kalangan pesantren yang bisa dilacak misalnya yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i Kalisalak (Jawa Tengah) melalui tulisan-tulisannya yang bermuatan anti-penjajahan.

Tanbih tan nana dedalane kinaweruhan

Tanah jawi wong nejo memerangi linakonan

Ngelawan ing kafir kelawan pedang gegaman

Nyata tan kuasa ngelawan ing kafir perangan.

Tentu saja memilih tetap memakai sarung adalah bentuk ijtihad yang tidak berarti menyalahkan para pejuang yang memakai celana dan meniru budaya dan pakaian Belanda. Bagi santri melawan Belanda juga melarang komunitas pesantren untuk meniru cara pakaian berbau penjajah seperti celana panjang, dasi sepatu.

Dalam perspektif inilah sarung, yang kemudian santri yang menjadi lumrah disebut kaum sarungan, pada masanya mengandung makna simbolik sebagai simbol perlawanan.

Bila hari ini para santri tetap memakai sarung itu adalah hasil ijtihad ulama pesantren yang tetap ingin bangga dengan martabat negeri ini sekaligus semangat sejarah untuk tidak tunduk pada budaya kolonial.

Inilah makna penting yang harus dipahami Kaum Sarungan.

Muasal dan Akulturasi Sarung

Dalam Ensiklopedia Britanica disebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisonal masyarakat di Yaman. Di negeri itu, sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar, atau ma'awis. Sementara, masyarakat di Oman menyebut sarung dengan nama wizaar.

Penggunaan sarung telah meluas, tidak hanya di Semenanjung Arab, tetapi juga Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. Konon, sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada Abad ke-14 dibawa oleh para saudagar Arab, Yaman, dan Gujarat.

Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia telah menjadi identitas tak terpisahkan dengan kaum santri. Hampir di semua pondok pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung dalam keseharian.

Kendati begitu, sarung di dunia Arab bukan pakaian resmi yang biasa digunakan untuk shalat, ke pasar, atau menghadiri acara-acara di luar rumah. Di Mesir, sarung hanya pantas dipakai di kamar tidur.

Pada masa kolonialisme, sebagaimana disebutkan tadi, sarung berubah menjadi simbol perlawanan. Sebuah simbol untuk melawan kemapanan jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan oleh penjajah. Sikap itu terbawa sampai masa kemerdekaan dan menjadi identitas kaum santri. Sampai-sampai, dalam sebuah kisah yang telah beredar luas diceritakan, KH Abdul Wahab Hasbullah, Pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Denanyar Jombang, datang memakai sarung, alih-alih celana panjang dan jas, ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara.

Pengertian Khas Santri Jawa

Dalam suatu kajian M. Ishom el-Saha, Dosen Unversitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, memberi pandangan khusus soal sarung dan santri-santri di Jawa sejak zaman dakwah Walisongo. Dalam pengertian khusus, orang Jawa yang terbiasa memakai kain jarik supaya dijahit dan disambung menjadi kain sarung untuk pertemuan di waktu sore.

Dalam syairnya Sunan Kalijaga tidak menyebut sarung melainkan Dodot (pakaian) karena di masanya belum lahir istilah sarung. Hanya saja, apa yang dikemukakan Sunan Kalijaga dapat ditandai sebagai cikal bakal kemunculan sarung. Tentu saja sarung bercorak batik yang lebih awal dikenakan para santri.

Sementara sarung bercorak tenun adalah hasil akulturasi antara kain Melayu dengan jenis pakaian Arab Yaman, yang disebut izar, wizar. Disebut demikian karena bahan dasarnya sama-sama dari kain yang sedikit kaku dan tebal. Sarung corak ini bukan dikenakan untuk keseharian melainkan dalam acara-acara maupun upacara tertentu.

Cara memakainya pun bukan untuk menutupi bagian tubuh antara pusar sampai mata kaki, tetapi lebih atas lagi. Masyarakat Melayu memakai sarung tenun untuk menutupi pinggang hingga paha sebagai alas celana. Sementara Arab Yaman umumnya memakai sarung hanya sampai betisnya yang luarannya masih dilapisi gamis.

Meski demikian, secara umum ada yang membedakan pemakaian sarung antara orang Indonesia dengan luar Indonesia. Perbedaan itu terletak pada cara menggulung bagian atas sarung atau biasa disebut bebedan. Bagi orang luar Indonesia bebedan tak dianggap penting, tapi bagi orang Indonesia bebedan menentukan penampilannya.

Semakin kecil dan ramping bebedan sarung orang Indonesia, hal itu akan menambah kharisma pribadinya. Bahkan bahan dan corak sarung masih bisa dikalahkan oleh bentuk bebedan sarung seseorang. Makanya bebedan harus diperlihatkan agar dapat dipandang dan dicontoh orang lain. Itulah kekhasan mengenakan sarung orang Indonesia yang berbeda dengan bangsa lainnya sekalipun mereka memiliki pakaian izar, wizar sejenis sarung.

Di negara-negara lain, bisa saja tukang becak mengenakan sarung dalam menjalani pekerjaannya, tapi di Indonesia sekalipun bersarung harus tetap modis dilihatnya. Oleh sebab itu orang yang menganggap kaum sarungan sebagai kampungan bisa jadi karena dia tak bisa memakai sarung dengan tampilan modis. Bagaimanapun juga kaum sarungan yang tampil modis pada dasarnya merupakan kelompok yang luas pergaulannya.

Santri dan Kopyah

Sebagai seorang santri yang ngagem (memakai) kopyah atau peci maka diharapkan selalu memperjuangkan nilai-nilai ajaran untuk kebaikan bersama bukan untuk kepentingan pribadi. Karena tujuan hidup adalah menjaga keseimbangan yang sejalan dengan tugas sebagai khalifatul fil ardh. Ketika diri manusia memakai peci akan tetapi tidak memegang nilai-nilai ajaran dan lebih mementingkan nilai-nilai pribadi maka ketidakseimbangan kehidupan pasti terjadi. Hal ini berdampak pada rusaknya kehidupan di dunia ini.

Ada pandangan dan bahkan dianggap sebagai prinsip hidup kaum santri adalah gondelan sarung. Prinsip gondelan sarung ketika diri kaji secara mendalam memiliki makna bahwa "jangan sampai berbelok arah dari ajaran yang telah dicetuskan oleh para Walisongo dan para kiai di lingkungan pondok pesantren jika diri tidak tersesat yang berarti berpeganglah teguh dengan ajaran yang disampaikan oleh para kiai dan Ulama Pesantren itu. Hal ini berakibat bahwa sarung menjadi ikon kalangan Islam Tradisional dan orang-orang pesantren, bahkan para kiai pun ketika keseharian dan berpergian memakai sarung.

Nilai Fanatisme dan loyalitas yang tinggi orang-orang santri kepda kiai dan ulama pesantren panutannya, maka sarung adalah menjadi budaya yang terus akan dijaganya. Sehingga berdampak bahwa fanatisme dan loyalitas sarung mengakar menjadi pola pikir dalam hubungannya dengan akuntabilitas atau nilai kepercayaan dalam pondok pesantren untuk menyiapkan generasi menjadi ummat yang baik.

Tiga Makna Filosofis Sarung

Secara filosofi dengan berdasarkan hakikat sebuah sarung maka dapat ditarik sebuah hal yang melekat dalam sebuah sarung dari segi makna yaitu:

Pertama, Satu ikatan.

Pemakaian sarung yang umum adalah hanya dengan satu ikatan dipinggang pemakai tanpa menggunkan tali. Hal ini dapat di artikan bahwa dalam diri seorang santri (manusia) hanya memiliki satu ikatan tujuan atau ketauhidan melalui ikatan pembelajaran yang dipimpin oleh kiai.

Nilai ketauhidan inilah yang menjadikan prinsip kehidupan diri manusia yang menjadikan diri menjadi manusia yang selalu memegang teguh prinsip hidup yang sesuai dengan ajaran agama. Sehingga menjadikan diri sebagai manusia yang tangguh yang berpegang pada Ajaran dan tidak bersifat "mendua" dalam menjalani kehidupan ini.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu keterikatan kepada sang kiai sangatlah kuat. Karena kiai sebagai simpul hidup yang diibaratkan sebagai konektivitas diri dengan Tuhan dalam belajar ajaran agar dapat menemukan jalan yang benar. Ikatan yang kuat antara sang kiai dengan santri inilah yang menunjukkan nilai luhur yang kuat dan tidak luntur oleh perubahan kondisi zaman.

Kedua, tanpa jahitan.

Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah membutuhkan satu jahitan untuk menyambung antara ujung dan tidak memiliki perkembangan lain, jika ada mode sarung yang dijahit laksana celana pada hakekatnya itu bukanlah sarung. Satu jahitan adalah menyambung itulah bahwa hidup adalah satu aturan yang berasal dari Tuhan, ketika ditemui aturan yang lain maka itu adalah aturan yang dibuat untuk membatasi atau mempermudah kehidupan diri manusia.

Implementasi kepada diri santri adalah bahwa adanya satu aturan yang ada dalam pondok. Aturan itu adalah aturan yang berasal dari kiai yang dipercaya merupakan kristalisasi nilai-nilai dari ajaran. Satu aturan yang berasal dari kiai inilah yang dipegang teguh oleh ara santri dalam kehidupan di pesantren atau untuk kehidupan di masyarakat setelah khatam dalam mengaji. Jika aturan-aturan lain maka sifatnya hanya menyederhanakan namun tidak mengurangi atau membatasi "point aturan" yang diberikan oleh kiai.

Ketiga, Kesederhanaan.

Makna yang terkandung adalah bahwa sarung hanyalah selembar kain sederhana yang tidak butuh aksesoris agar tampilan kelihatan cantik. Kesederhanaan ini menggambarkan bahwa perjalanan hidup diri adalah kehidupan dalam nilai "cukup".

Nilai "cukup" adalah bahwa diri dalam kehidupan harus dapat menjaga keseimbangan baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, ataupun dengan dengan alam semesta.

Demikianlah sarung menjadi amat penting dalam memaknai identitas seorang santri. Di balik makna keterikatan sarung dan santri menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, meski mereka telah berpikiran maju bahkan dengan pendidikan tinggi, bagi kaum santri, tidaklah mudah begitu saja untuk meninggalkan sarung sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Bahkan, menjadi busana penting dalam melakukan aktivitas keberagamaannya.

Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.

Tags