Masjid Mantingan Jepara, Sultan Hadlirin Penyebar Agama Islam
Masjid Mantingan dikenal dengan nama Masjid Astana Sultan Hadlirin. Masjid ini merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak yang kesohor itu. Masjid ini dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi. Tarikh itu terukir pada prasasti di mihrab Masjid Mantingan, yakni “Rupa Brahmana Warna Sari.”
Masjid terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 5 kilometer (km) arah selatan dari pusat Kota Jepara. Secara keseluruhan, kompleks seluas kira-kira tujuh haktare (ha) itu terdiri atas masjid, permakaman, dan museum.
Dulu, Masjid Mantingan merupakan bangunan yang paling mencolok di antara keramaian pelabuhan, bangunan-bangunan rumah, dan pasar. Masjid ini memiliki gaya arsitektur yang unik, yaitu perpaduan antara arsitektur budaya Hindu-Buddha, Jawa, dan Tionghoa.
Sejarah Pembangunan Masjid Mantingan
Kisah pembangunan Masjid Mantingan tak lepas dari sejarah Kerajaan Islam Demak pada masa kepemimpinan Sultan Trenggono. Dikutip dari buku Sejarah dan Hari Jadi Jepara (1988), Sultan Trenggono memiliki seorang anak gadis bernama Retno Kencono alias Ratu Kalinyamat. Perempuan tersebut kemudian menikah dengan R Toyib, seorang putra Sultan Aceh yakni R Muhayat Syeh.
Toyib sendiri merupakan sosok yang gemar berkelana untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Pria kelahiran Aceh ini bahkan sempat merantau ke Tanah Suci dan Campa untuk menyebarkan Islam. Sesampainya di Jepara, barulah kemudian ia meminang Retno Kencono.
Kerajaan Demak menggelari Toyib sebagai Sultan Hadlirin. Selain itu, suami Ratu Kalinyamat itu juga dinobatkan sebagai adipati Jepara. Bagaimanapun, ia tak dapat menghindari geger politik di lingkungan istana.
Arya Penangsang akhirnya membunuh Raden Mukmin alias Sunan Prawoto, yakni putra sulung Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri wafat dalam suatu insiden saat hendak menyusun strategi pengepungan terhadap Panarukan.
Arya Penangsang hendak membalaskan dendam karena Sunan Prawoto telah membunuh ayahnya demi menaikkan Sultan Trenggono ke takhta Demak. Tidak cukup itu, ia juga membunuh Sultan Hadlirin usai menerima kabar kematian Sultan Trenggono.
Atas kematian suaminya itu, Ratu Kalinyamat amat berduka. Untuk mengatasi kesedihannya, perempuan tersebut membuatkan makam serta masjid di daerah Mantingan, Jepara. Kompleks inilah yang akhirnya menjadi cikal-bakal Masjid Mantingan.
Kisah ini mirip dengan Taj Mahal di India. Bangunan indah tersebut dibuat Kaisar Mughal Shah Jahan untuk istri tercintanya yang meninggal dunia.
Campuran Tiga budaya
Budaya Jawa, Tiongkok, dan Hindu ditampilkan jelas dalam arsitektur Masjid Mantingan. Misalnya, bangunan serta gapura rumah ibadah tersebut yang berbentuk lengkungan. Selain itu, di dekat bangunan utama Masjid Mantingan terdapat petilasan candi meski kini tak utuh lagi.
Masjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi yang ditutup dengan ubin buatan Tiongkok. Begitu pula dengan undak-undakannya yang semuanya didatangkan dari Makau.
Akulturasi budaya Hindu dan Cina juga tampak dari bentuk mustaka dan atap tumpang. Corak tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Majapahit. Begitu juga dengan relief yang terpampang pada dinding masjid ini. Sementara itu, pengaruh kebudayaan China terlihat dari adanya ornamen barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi).
Bangunan utama Masjid Mantingan menampilkan relief-relief yang menempel pada dinding. Saat ini, terdapat 114 relief yang dipajang di sana. Adapun sisanya sudah tersimpan di galeri sederhana pada samping masjid ini. Adanya relief tersebut menunjukkan keunikan Masjid Mantingan bila dibandingkan dengan masjid-masjid kuno lainnya di Nusantara.
Relief biasanya dijumpai pada candi-candi Hindu. Bagaimanapun, relief pada Masjid Mantingan mematuhi kaidah Islam. Sebagai contoh, gambar-gambar makhluk bernyawa, seperti binatang, pada relief tersebut diukir dengan cara disamarkan. Inilah bukti kepiawaian para seniman istana pada zaman silam. Corak gambar lainnya mengikuti tradisi kaligrafi Islam, yakni geometris atau flora (sulur-suluran tumbuhan).
Menurut ajaran Islam, sosok manusia atau semua makhluk yang bernyawa tidak diperkenankan sebagai hiasan dekoratif. Akan tetapi seniman pada zaman itu sangat pintar. Mereka membuat gambar-gambar bernyawa itu dalam bentuk ukiran yang disamarkan, atau distilir.
Menurut cerita tradisional setempat, arsitek masjid ini adalah Chi Hui Gwan (Tjie Wie Gwan) atau yang lebih dikenal dengan julukannya, Patih Sungging Badarduwung. Patih ini merupakan ayah angkat Sultan Hadlirin yang membantu Ratu Kalinyamat dan masyarakat setempat dalam mendirikan masjid dan makam tersebut.
Pemugaran
Masjid Mantingan pernah dipugar oleh Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah melalui Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun anggaran 1977/1978.
Saat dilakukan pemugaran ditemukan empat panil relief di kedua sisinya. Satu sisi berelief seperti yang dapat dilihat sekarang, sisi lainnya terdapat pahatan relief yang tidak selesai. Berupa lakon cerita tentang Ramayana, yang erat kaitannya dengan agama Hindu.
Di sini terlihat peran ulama sangat berpengaruh dalam pembuatan relief. Mereka memberikan nasehat bahwa tidak boleh menggambarkan makhluk hidup secara natural sebagai hiasan masjid. Relief yang terlanjur dipahat lakon Ramayana itu, akhirnya diganti dengan relief seperti sekarang ini kita lihat.
Pada 2015 silam, dilakukan pemugaran terhadap Cungkup Makam Ratu Kalinyamat oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah Jawa Tengah. Alasan pemugaran karena Masjid Mantingan masih difungsikan oleh masyarakat setempat. Selain itu adalah pertimbangan kebersihan dan kenyamanan bagi para jemaah. Meskipun telah menghilangkan kekunoan masjid tersebut.
Ziarah Kubur Sunan Mantingan
Kompleks makam terletak di belakang masjid denahnya membujur ke belakang. Dalam satu kompleks Masjid Mantingan ini juga terdapat makam Ratu Kalinyamat, Sultan Hadlirin, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) dan beberapa makam kerabat Ratu Kalinyamat. Terdapat juga museum kecil yang berisikan ukiran marmer putih serupa dengan yang melekat di dinding masjid.
Seperti umumnya bentuk makam-makam kuno, Makam Mantingan terdiri dari tiga teras. Pembagian itu didasarkan atas kedudukan sosial tokoh yang dimakamkan. Teras pertama, yang dibatasi dengan gapura candi bentar, terletak paling bawah. Merupakan pemakaman bagi masyarakat umum.
Teras kedua, yang juga dibatasi dengan gapura candi bentar, digunakan untuk pemakaman orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi. Sedangkan teras ketiga, teras paling atas yang ditandai dengan gapura paduraksa, adalah pemakaman yang digunakan untuk orang-orang dengan status sosial tertinggi, terutama yang berada di dalam cungkup.
Pohon Pace
Makam selalu ramai dikunjungi pada saat haul untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan. Dalam haul tersebut diadakan upacara Ganti Luwur (ganti kelambu atau gorden warna putih) yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali, yakni pada tanggal 17 Rabiul Awal, sehari sebelum peringatan HUT Jepara. Sebagai informasi, peringatan HUT Jepara di peringati tanggal 10 April tiap tahunnya.
Makam Mantingan sampai sekarang masih dianggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon pace yang tumbuh di sekitar makam, konon dapat memberikan rahmat kesuburan bagi pasangan yang belum memiliki anak.
Air Keramat
Selain buah pace, makam Mantingan juga masih menyimpan keistimewaan lainnya. Dalam cungkup makam Mantingan ada air Mantingan atau air keramat yang bertuah. Air keramat tersebut menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang benar dan yang salah.