Blog Islam Sehari-hari Sholat

Mengenal Arti Tuma'ninah dalam Pelaksanaan Sholat

Ilustrasi seorang Muslim yang ingin menyempurnakan sholatnya dengan gerakan tuma'ninah. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi seorang Muslim yang ingin menyempurnakan sholatnya dengan gerakan tuma'ninah. (Foto: Istimewa)

Dalam Islam, shalat memiliki kedudukan yang penting dan istimewa. Ibadah ini menjadi amalan pertama yang akan dihisab dan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir kelak.

Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menyempurnakan pahala shalat dengan memahami rukun-rukunnya. Salah satau rukun shalat yang penting untuk diterapkan yaitu melakukan gerakan dengan tuma'ninah.

Tumaninah artinya diam sebentar dan tidak terburu-buru. Rukun ini bisa diterapkan pada gerakan shalat seperti ruku, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang tuma'ninah yang bisa Anda simak.

Pengertian Tuma'ninah

Tuma'ninah sering diidentikan dengan sifat khusyuk saat salat. Meski tidak sepenuhnya salah, ada perbedaan mendasar dari keduanya, terutama yang berkaitan dengan gerakan dalam salat.

Secara bahasa, ‘thuma’ninah’ (الطمأنينة) adalah ‘ketenangan’. Ini harus dilakukan pada beberapa gerakan salat, seperti saat saat ruku’, i’tidal, sujud dan duduk di antara dua sujud karena termasuk dalam rukun salat.

Bahkan, tidak tuma'ninah saat salat menurut Rasulullah SAW termasuk salah satu dari kesalahan besar yang terjadi pada sebagian orang yang salat.

Rasulullah SAW menganggapnya sebagai pencuri yang paling buruk, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Musnad Imam Ahmad, saat beliau bersabda:

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا

Artinya: “Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari salatnya”. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?’.

Rasulullah berkata: “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya.” (HR Ahmad)

Maka, beliau menganggap bahwa perbuatan mencuri dalam salat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta.

Tuma'ninah ketika salat adalah bagian dari rukun salat, maka salat tidak sah kalau tidak tumaninah. Rasulullah SAW pernah berkata kepada orang yang salatnya salah:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Artinya: “Jika Anda hendak mengerjakan salat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat Alquran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh salatmu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas, para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang ruku’ dan sujud namun tulangnya belum lurus, maka salatnya tidak sah sehingga orang itu wajib mengulangnya.

Pengertian tuma'ninah ini bukan sekadar gerakan, melainkan berkaitan dengan hati dan pikiran. Artinya, selain gerakan yang tenang dan sempurna, shalat juga harus dikombinasikan dengan pemaknaan di setiap bacaan.

Tentunya, dalam hal ini seorang Muslim harus melibatkan hati dan pikirannya. Sehingga, orang yang mengerjakan shalat dapat merasakan kedekatannya dengan Sang Pencipta. Harapannya, bukan hanya mendapat pahala dan keutamaan, tetapi juga mendapat kekhusyukan dalam gerakan.

Mengutip jurnal berjudul Konsep Tuma'ninah dalam Shalat Perspektif Imam Malik dan Abu Hanifah oleh Nurhadi dan Zulkifli, ulama madzhab Hanafi dan Maliki mendefinisikan tumaninah sebagai sikap diam sebentar pada gerakan rukuk, sujud, i’tidal, dan duduk di antara dua sujud dengan membaca tasbih. Kedua madzhab ini mengategorikan tumaninah sebagai sunah dan keafdalan dalam shalat.

Sebab, ciri shalat yang benar adalah yang gerakannya disempurnakan, hatinya dihadirkan, serta pikirannya dikhusyukan. Kombinasi indah ini dapat dipenuhi dengan melakukan gerakan shalat secara tumaninah.

Dalam kitab Al-Tahdzib fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib, Mustthafa Daib Al-Bigha Al-Maidani Al-Dimasyqi Al-Syafi’I menjelaskan bahwa kewajiban melakukan tuma’ninah dalam shalat bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن رجلاً دخل المسجد ورسول الله جالس فيه فرد عليه السلام، ثم قال له: ارجع فصل فإنك لم تصل. فرجع فصلى كما صلى، ثم جاء فسلم علي النبي فرد عليه السلام ثم قال: ارجع فصل فإنك لم تصل، فرجع فصلى كما صلى، ثم جاء فسلم على النبي فرد عليه السلام، وقال: ارجع فصل فإنك لم تصل ثلاث مرات، فقال في الثالثة: والذي بعثك بالحق يا رسول الله ما أحسن غيره فعلمني. فقال : إذا قمت إلى الصلاة فكبر، ثم اقرأ ما تيسر معك من القرآن، ثم اركع حتى تطمئن راكعاً، ثم ارفع حتى تعتدل قائماً، ثم اسجد حتى تطمئن ساجداً، ثم اجلس حتى تطمئن جالساً، ثم اسجد حتى تطمئن ساجداً، وافعل ذلك في صلاتك كلها . متفق عليه

Dari sahabat Abu Hurairah ra., "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk kemudian ia shalat. Kemudian orang itu datang dan memberi salam kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menjawab salamnya dan bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu, karena kamu belum shalat (dengan shalat yang sah)!”

Lalu orang itu kembali dan mengulangi shalat seperti semula. Kemudian ia datang menghadap kepada Nabi Saw. sambil memberi salam kepada beliau. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Wa’alaikas Salaam” Kemudian beliau bersabda, “Kembali dan ulangilah shalatmu karena kamu belum shalat!”

Sehingga ia mengulang sampai tiga kali. Maka laki-laki itu berkata, “Demi Dzat yang mengutus anda dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari shalat seperti ini, maka ajarilah aku.”

Beliau pun bersabda, “Jika kamu berdiri untuk shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah dari Al Qur’an. Kemudian ruku’-lah hingga benar-benar thuma’ninah (tenang/mapan) dalam ruku’, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak (lurus), kemudian sujudlah sampai engkau thuma’ninah dalam sujud, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga thuma’ninah dalam keadaan dudukmu. Kemudian lakukanlah semua itu di seluruh shalat (rakaat) mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Syaikh Salim bin Samir Al-Hadrami menyebutkan pengertian tuma’ninah dalam kitabnya Safinatun najah dengan redaksi berikut:

الطمأنينة هي : سكون بعد حركة بحيث يستقر كل عضو محله بقدر سبحان الله

Yang artinya; Tuma’ninah adalah diam sesudah gerakan sebelumnya, sekira-kira semua anggota badan tetap (tidak bergerak) dengan kadar waktu lamanya membaca bacaan tasbih (subhanallah).

Berdasarkan hadis di atas, para ahli fikih mencatat setidaknya ada empat rukun wajib tuma’ninah di dalamnya, yaitu (1) tuma’ninah ketika ruku’, (2) ketika i’tidal, (3) ketika sujud, (4) ketika duduk antara dua sujud. Jadi sebelum berpindah ke kegerakan selanjutnya, hendaknya orang yang shalat melakukan tuma’ninah atau diam sejenak kira-kira selama bacaan subhanallah.

Tuma’ninah harus dilakukan dengan benar, misalnya tuma’ninah saat sujud, Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib mencontohkan bahwa tuma’ninah saat sujud tidak cukup hanya menyentuhkan kepala ke tempat sujud. Tapi harus dilakukan sekira beban kepala mengenai tempat sujud, jadi andai ada kapas di bawah kepalanya niscaya akan ada bekas tekanan.

Dari hadits di atas, ada beberapa hal yang diharuskan untuk tumaninah dan posisinya sebagai rukun dalam salat adalah terletak pada hadis berikut ini:

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا

Artiya: “… Kemudian rukuklah hingga kamu tenang dalam keadaan rukuk..,” (HR Bukhari)

Konteks hadist di atas adalah ketika ada seorang lelaki yang salatnya belum benar dan diminta oleh Rasulullah SAW untuk mengulangi salatnya sampai 3 kali.

Ini disebabkan tidak terdapat tuma'ninah di dalamnya, sehingga salatnya belum sah karena ada rukun yang tidak dilakukan. Ketika Rasulullah SAW mengajarinya cara salat yang benar, di antara yang beliau ucapkan adalah perintah untuk tuma'ninah atau bersikap tenang.

Perintah ruku’ dengan tenang menunjukkan bahwa tumaninah adalah keharusan dan digolongkan rukun salat, sehingga siapapun yang meninggalkannya maka salatnya dianggap tidak sah.

Perintah Rasulullah SAW untuk tumaninah di dalam hadits tersebut bukan hanya untuk posisi ruku’, tetapi juga dalam i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud dalam salat. Ini menunjukkan bahwa tuma'ninah pada gerakan-gerakan salat tersebut adalah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan.

Dari penjelasan An-Nawawi, bisa disimpulkan bahwa tumaninah setidaknya dapat terlihat dari dua hal. Pertama ‘istiqror a’dho’, maksudnya stabil, kukuh, dan tidak goyangnya anggota tubuh.

Kedua ‘infishol harokah’, maksudnya terpisahnya satu gerakan salat dengan gerakan salat yang lainnya sehingga bisa dibedakan menurut posisiya.

An-Nawawi berkata:

وَتَجِبُ الطُّمَأْنِينَةُ في الركوع بلا خلاف لحديث ” المسئ صَلَاتَهُ ” وَأَقَلُّهَا أَنْ يَمْكُثَ فِي هَيْئَةِ الرُّكُوعِ حَتَّى تَسْتَقِرَّ أَعْضَاؤُهُ وَتَنْفَصِلَ حَرَكَةُ هُوِيِّهِ عَنْ ارْتِفَاعِهِ مِنْ الرُّكُوعِ

Artinya: “Tumanina wajib dalam ruku’ tanpa ada perselisihan berdasarkan hadits orang yang salah dalam salatnya. Kadar minimal ‘thuma’ninah’ adalah berhenti sejenak dalam keadaan ruku’ sampai stabil anggota tubuhnya dan terpisah antara gerakan turun dengan gerakan naik saat ruku’.” (Al-Majmu)

Selain itu, contoh tumaninah dalam sujud adalah keseriusan dalam meletakkan dahi pada tempat sujud. Tidak hanya menempel, tapi juga harus sampai menjatuhkan beban kepala dan pundak di tempat sujud. An-Nawawi berkata:

لَا يَكْفِي فِي وَضْعِ الْجَبْهَةِ الْإِمْسَاسُ بَلْ يَجِبُ أَنْ يَتَحَامَلَ عَلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ بِثِقَلِ رَأْسِهِ وَعُنُقِهِ حَتَّى تَسْتَقِرَّ جَبْهَتُهُ فَلَوْ سَجَدَ عَلَى قُطْنٍ أَوْ حشيش أو شئ مَحْشُوٍّ بِهِمَا وَجَبَ أَنْ يَتَحَامَلَ حَتَّى يَنْكَبِسَ ويظهر اثره علي يد لو فُرِضَتْ تَحْتَ ذَلِكَ الْمَحْشُوِّ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ لَمْ يُجْزِئْهُ

Artinya: “Tidak cukup meletakkan dahi dengan cara hanya menyentuhkannya saja. Bahkan menjadi keharusan untuk menjatuhkan beban memakai berat kepala dan pundak pada tempat sujudnya hingga dahinya menjadi stabil.

Jika dia sujud di atas kapas atau rumput atau sesuatu yang diisi dengan dua bahan ini, maka wajib baginya untuk menjatuhkan beban tubuhnya hingga dahinya masuk ke dalam benda tersebut dan tampak bekasnya pada tangannya seandainya tangan tersebut diletakkan di bawah benda itu. Jika dia tidak melakukan itu, maka sujudnya tidak sah.” (Al-Majmu’)

(WIT)

Tags