Blog Islam Sehari-hari Ilmu Tauhid

Memahami Makna Tawasul dan Jenis-jenisnya

Ilustrasi memahami makna Tawasul berdasarkan hadist dan Al Quran. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi memahami makna Tawasul berdasarkan hadist dan Al Quran. (Foto: Istimewa)

Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.

Tentu saja ini merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang sering kali kita lakukan dalam kehidupan kita namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit pula orang yang terjerumus kedalam tawassul yang itu sama sekali tidak di syari’atkan di dalam agama Islam.

Ada sebagian orang yang mentakwil hadits-hadits tentang tawassul dengan berdasarkan akal pemikiran dan hawa nafsu belaka. Sehingga muncullah berbagai bentuk tawassul yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam bahkan merupakan kesyirikan yang besar.

Pengertian Tawassul

Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir).

Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)

Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, "Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah)."

Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut, "Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).

Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.

Tawassul Sunnah

  • Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdoa

Allah Ta’ala berfirman: "Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)

  • Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya: "Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)

  • Bertawassul dengan amal shalih

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh.

Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)

  • Tawasul dengan Orang Saleh yang Masih Hidup

Anas ibn Malik meriwayatkan sebuah hadis:

عَنْ أَنَسْ بِنْ مَالِكْ أَنَّ عُمَرَ كَانَ إِذَا قُحِطُوْا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بِنْ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ فَقَالَ اللّهم إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا َوإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فيُسْقَوْنَ أخرجه البخاري .

“Dari Anas bin Mâlik ra. sesungguhnya Umar ibn al-Khathâb apabila masyarakat mengalami paceklik meminta hujan dengan (tawasul dengan) al-‘Abbâs ibn ‘Abdil Muthallib dengan mengatakan :

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-Mu kami bertawasul dengan Nabi-Mu. Engkaupun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami berdoa kepadamu dengan bertawasul dengan paman Nabi-Mu, maka berilah kami hujan.” Anas mengatakan : “Kemudian mereka diberi hujan.” (HR Bukhari).

Dalam hadis di atas Sayidina Umar bertawasul dengan Sayidina ‘Abbas.

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalany dalam Fathul Bari Syarh al-Bukhari, hadis di atas menunjukkan terjadinya tawasul dengan Nabi SAW dan diperbolehkan tawasul dengan orang-orang saleh baik dari kalangan Ahlul Bait (habaib) maupun lainnya.

  • Tawasul dengan Orang Saleh yang Sudah Meninggal

Tawasul dengan orang saleh yang telah meninggal sudah dilakukan para ulama, di antaranya:

Pertama, Al-Khathîb dalam kitab tarikh-nya menceritakan dari ‘Ali ibn Maimun bahwa Imam Syafi’i pernah berkata :

إِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِيْ حَنِيْفَةَ وَأَجِيْئُ إِلَى قَبْرِهِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ – يَعْنِيْ زَاِئرًا- فَإِذَا عَرَضَتْ لِيْ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا يَبْعَدُ عَنِّيْ حَتَّى تُقْضَى

“Sesungguhnya aku bertabarruk dengan Abi Hanifah dan datang ke kuburnya – yakni ziarah kubur.

Apabila aku mempunyai hajat, maka aku shalat sunnah 2 rakaat kemudian datang ke kuburan beliau dan meminta hajatku kepada Allah. Tidak lama kemudian hajatku pun terpenuhi”.

Kisah tersebut menunjukkan bahwa Imam Syafi’i bertawasul dengan Abi Hanifah. Hal ini sebagaimana keterangan tegas Imam Ibn Hajar dalam al-Khairat al-Hisan fi Manaqib al-Imam Abi Hanifah an-Nu’man.

Kedua, Imam ad-Dzahaby dalam Tadzkirah al-Huffâdh mengisahkan, tatkala Sofwan ibn Sulaim disebutkan di depan Imam Ahmad ibn Hanbal, beliau berkomentar :

هَذَا رَجُلٌ يَنْزِلُ الْقَطَرُ مِنَ السَّمَاءِ بِذِكْرِهِ

“Ini adalah lelaki yang hujan dapat turun dari langit dengan (perantara) menyebut namanya”.

Ucapan Imam Ahmad ibn Hanbal di atas membuktikan bahwa beliau termasuk pendukung berat praktik tawasul.

  • Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman:

رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)

  • Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah

Allah Ta’ala berfirman:

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)

  • Tawasul di Masa Hidup Nabi

Dikisahkan bahwa sahabat Dharir yang menderita sakit mata memohon kepada Rasulullah SAW agar diberi kesembuhan. Kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk membaca doa berikut:

“اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَّمَدٍ نَبِىِّ الرَّحْمَةِ إِنِّيْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِه لِتُقْضَى لِيْ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawasul dengan) Nabi-Mu, Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang.

(Duhai Rasul) sesungguhnya aku telah bertawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawasul dengan)mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafaat beliau untukku”. (HR Tirmidzi, an-Nasâ’I, al-Baihaqy dengan sanad shahih).

Dalam hadis tersebut sahabat Dharir bertawasul dengan Nabi Muhammad SAW bahkan atas rekomendasi beliau sendiri. Ini menunjukkan tawasul dengan orang shalih yang masih hidup diperbolehkan.

  • Tawasul dengan Nabi Usai Beliau Wafat

Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ سَيِّدِنَا عَلِيْ كَرَّمَ الله وَجْهَهُ أَنَّ سَيِّدِنَا ُمُحَّمَدٍ لَمَّا دَفَنَ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَسَدْ أُمَّ سَيْدِنَا عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ اللّهُمَ بِحَقِّيْ وَحَقِّ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ اغْفِرْ لِأُمِّيْ بَعْدَ أُمِّيْ رواه الطبراني وأبو نعيم وابن حجر الهيثمي

“Dari Sayidina ‘Ali kw. Sesungguhnya Sayidina Muhammad SAW tatkala Fathimah binti Asad, ibu Sayidina ‘Ali dimakamkan, beliau SAW berdoa :

“Ya Allah, dengan (perantara) hakku dan hak para Nabi sebelumku, ampunilah ibu setelah ibuku (Fathimah bint Asad). (HR at-Thabrâny, Abu NU’aim, al-Hatsamy)”

Dalam hadis tersebut Rasulullah bertawasul dengan para Nabi sebelum beliau. Ini menunujukan bahwa tawasul dengan orang yang telah meninggal juga pernah diajarkan oleh Rasul SAW.

Tawassul Bid’ah

  1. Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.

Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)

Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.

  1. Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.

Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh, Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku".

  1. Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih.

Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.

Tawassul Syirik

Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.

Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.

(WIT)

Tags