Blog Islam Sehari-hari Ilmu Tauhid

Mengenal Perbedaan Hadas dan Najis Menurut Kaidah Islam

Ilustrasi perbedaan hadas dan najis menurut kaidah Islam. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi perbedaan hadas dan najis menurut kaidah Islam. (Foto: Istimewa)

Islam mengajarkan kebersihan dan kesucian pada pemeluknya. Jika ingin beribadah menghadap Allah yang Maha Suci, maka kita diwajibkan bersuci terlebih dahulu.

Jika kotoran menyebabkan badan atau benda menjadi tidak bersih, maka dalam Islam terdapat perbedaan hadas dan najis yang menyebabkan tubuh, tempat, atau benda menjadi tidak suci. Kondisi tidak suci jelas tidak boleh digunakan untuk shalat, membaca Al Quran, atau thawaf.

Najis merupakan sesuatu yang dinilai sebagai hal kotor bagi orang yang menjaga dirinya, sedangkan hadas menunjukkan keadaan diri seseorang. Baik hadas maupun najis sama-sama harus disucikan sebelum kita beribadah menghadap Allah, misalnya shalat atau membaca Al Quran. Tetapi, keduanya memiliki perbedaan yang perlu kita ketahui.

Apa perbedaan najis dan hadats? Apakah jika terkena najis, maka wudhu menjadi batal? Apakah setiap yang kotor itu najis? Masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami perihal ini. Semoga tulisan ringkas ini dapat memberi pencerahan.

Najis

Najasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat.

Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah (1/12) disebutkan,

النجاسات جمع نجاسة, و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و البول

Artinya: "Najasat adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni" (1. Dinukil dari Al Wajiz fi Fiqhissunnah wal Kitabil Aziz (23)).

Dalam Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (1/35) disebutkan,

النجاسة: هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها

Artinya: "Najasah adalah setiap hal yang dianggap kotor yang diperintahkan oleh syariat untuk menjauhinya”

Dari penyataan "dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang disebutkan para ulama menunjukkan bahwa tidak semua yang kotor menurut manusia itu adalah najis dalam istilah syar’i, dan juga menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu harus dilandasi dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia suci.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:

يجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع

Artinya: "wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat" [2. Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi (19-21)].

Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu itu najis, melainkan harus berdasarkan dalil. Dan yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita diperintahkan untuk menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena najis.

Agar lebih menyempurnakan pemahaman, perlu diketahui bahwa najis dibagi menjadi tiga [3. Lihat Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi (19-21)]:

1. Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah, yaitu najis dari anjing dan babi.

2. Najasah mukhaffafah (ringan), misalnya yaitu air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan dan muntahnya, madzi juga termasuk jenis ini.

3. Najasah mutawashitah (pertengahan), adalah yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air kencing secara umum, kotoran manusia (feces), bangkai, dll.

Hadats

Hadats secara bahasa artinya terjadinya sesuatu. Sedangkan secara istilah, hadats adalah keadaan yang mewajibkan wudhu atau mandi jika seseorang hendak shalat.

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

الْحَدَثُ يُطْلَقُ عَلَى مَا يُوجِبُ الْوُضُوءَ، وَعَلَى مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ. فَيُقَالُ: حَدَثٌ أَكْبَرُ، وَحَدَثٌ أَصْغَرُ، وَإِذَا أُطْلِقَ، كَانَ الْمُرَادُ الْأَصْغَرَ غَالِبًا

Artinya: "Hadats dimutlakkan kepada makna: segala keadaan yang mewajibkan wudhu dan dan mandi. Disebutkan oleh para ulama bahwa hadats itu terbagi menjadi: hadats akbar dan hadats ashghar. Dan jika dimutlakkan, yang dimaksud adalah hadats asghar".

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyyah disebutkan:

الحدَثُ اصطلاحًا: وصفٌ قائمٌ بالبَدَنِ يمنَعُ مِنَ الصلاةِ ونحوِها، ممَّا تُشترَطُ له الطَّهارةُ

"Hadats secara istilah maknanya suatu keadaan yang terjadi pada badan yang membuat seseorang terlarang untuk melakukan shalat dan ibadah lainnya yang disyaratkan harus dalam keadaan suci".

Para ulama membagi hadats menjadi 2 macam: hadats akbar (besar) dan hadats asghar (kecil):

ينقسِمُ الحدَثُ إلى نَوعينِ:

النَّوع الأوَّل: الحدَث الأصغرُ، وهو ما يجِبُ به الوضوءُ؛ كالبولِ، والغائطِ، وخروجِ الرِّيحِ.

والنَّوع الثَّاني: الحدَث الأكبر، وهو ما يجِبُ به الغُسلُ؛ كمَن جامَعَ أو أنزَلَ

"Hadats terbagi menjadi 2 macam: Pertama: hadats asghar. Yaitu segala yang mewajibkan wudhu, seperti: buang air kecil, buang air besar dan buang angin. Kedua: hadats akbar. Yaitu yang mewajibkan mandi, seperti: jima‘ (bersenggama) atau keluar mani".

Dari sini bisa kita ketahui bahwa istilah hadats adalah suatu keadaan bukan suatu benda atau zat. Berbeda dengan najis yang merupakan benda atau zat.

Nawaqidhul wudhu

Nawaqidh adalah bentuk jamak dari naqid, yang secara bahasa artinya: perusak. Sedangkan nawaqidhul wudhu secara istilah artinya hal-hal yang membatalkan dan merusak wudhu.

نواقِضُ الوضوءِ اصطلاحًا: مفسِداتُ الوُضوءِ، التي إذا طرَأَت عليه أفسَدَتْه

Artinya: "Nawaqidhul wudhu secara istilah artinya hal-hal yang merusak wudhu yang jika dilakukan maka batal wudhunya”.

Pembatal wudhu ditentukan berdasarkan dalil syar’i bukan akal atau perasaan. Dan jika seseorang sudah dalam keadaan suci setelah berwudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci hingga melakukan suatu hal yang berdasarkan dalil ia adalah pembatal wudhu.

Sebagaimana kaidah ushuliyyah:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Artinya: "keadaan sesuatu yang ditetapkan sebelumnya, tetap berlaku sebagai hukum asal"

Maka orang yang dalam keadaan suci, tetap berlaku kesuciannya sebagai hukum asal, hingga terdapat dalil yang menyatakan ia sudah tidak suci lagi.

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Muyassarah (1/117-126), Syaikh Husain Al Awaisyah hafizhahullah menyebutkan bahwa pembatal wudhu ada lima:

1. Al kharij min sabilain (keluar sesuatu dari qubul dan dubur), baik berupa air seni, air besar (feces), mani, madzi, darah istihadhah, atau kentut.

2. Hilangnya akal.

3. Menyentuh farji (kemaluan) dengan syahwat

4. Makan daging unta

5. Tidur

Dan semua nawaqidhul wudhu itu termasuk hadats asghar. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menyatakan:

أما الحدث الأصغر؛ فهو ما يوجب الوضوء؛ كالبول، والغائط، وسائر نواقض الوضوء

Artinya: "adapun hadats asghar, adalah semua yang mewajibkan wudhu, seperti buang air kecil, buang air besar, dan seluruh pembatal wudhu".

Dari sini juga kita ketahui bahwa pembatal wudhu berbeda dengan najis. Dan jika seseorang terkena najis, wudhunya tidak menjadi batal, namun ia wajib membersihkan najis tersebut. Berbeda dengan hadats, karena diantara yang termasuk hadats adalah semua pembatal wudhu.

Qadzarah

Qadzarah artinya kotoran, yaitu semua yang dianggap kotor atau tidak bersih oleh manusia; lawan kata dari bersih. Secara bahasa, qadzarah artinya sama dengan najasah (najis).

Kami sengaja sebutkan di sini agar pembaca memahami bahwa kotoran itu berbeda dengan najis, hadats dan pembatal wudhu dalam istilah syariat. Tidak semua yang dianggap kotor oleh manusia itu adalah najis, hadats dan membatalkan wudhu.

Dewan Fatwa menyatakan:

فالقذر اسم لما تعافه النفس وتكرهه نجساً كان أو غير نجس، فالقذر إذن أعم من النجس مطلقاً.

Artinya: "Al Qadzar adalah istilah untuk semua yang tidak disukai oleh jiwa, baik itu berupa najis ataupun bukan najis. Maka qadzar itu lebih umum dari najis"

Najis, hadats dan pembatal wudhu ditentukan berdasarkan dalil-dalil. Adapun kotoran secara umum, statusnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci dalam pandangan syariat.

Kaidah fiqih mengatakan:

والأصل في أشيائنا الطهارة *** والأرض والثياب والحجارة

Artinya: "hukum asal segala benda yang ada di (bumi) kita adalah suci, demikian juga tanah, pakaian dan batu"

Maka kotoran dibagi menjadi dua:

1. Kotoran yang bukan najis, semisal tanah, debu, noda makanan, noda cat, dan semisalnya. Statusnya asalnya suci dalam pandangan syariat, kecuali sudah tercampur dan didominasi oleh zat lain yang termasuk najis.

Demikian juga terkena benda-benda tersebut bukan pembatal wudhu karena tidak terdapat dalil bahwa mereka dapat membatalkan wudhu. Maka tidak benar sikap sebagian orang yang merasa wudhunya batal karena ia menginjak tanah.

2. Kotoran yang merupakan najis, yaitu kotoran yang ditetapkan syariat sebagai najis, seperti kotoran manusia (feces), air seni, madzi, bangkai, air liur anjing, babi, dan lain-lain.

Meski demikian, kotoran yang statusnya suci bukan najis dalam syariat, bukan berarti seorang Muslim bermudah-mudahan terhadapnya. Diantara adab yang baik bagi seorang Muslim adalah senantiasa menjaga kebersihan dan berpenampilan yang bagus.

Bukan adab yang baik jika seorang Muslim berpenampilan kumal, kotor, pakaiannya penuh noda, rumahnya pun kotor, sampah berceceran, walaupun tidak terdapat najis. Ini bukan adab yang baik.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ جميلٌ يحبُّ الجمالَ

Artinya: "sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan" (HR. Muslim).

(WIT)

Tags