Blog Kisah - kisah Sahabat Nabi

Muadzin Pertama dalam Islam, Kisah Bilal bin Rabah

Bilal bin Rabah, sang muadzin pertama dalam Islam. (Foto: Istimewa)
Bilal bin Rabah, sang muadzin pertama dalam Islam. (Foto: Istimewa)

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman.

Lahir dari pasangan Rabah dan Hamamah sekitar 43 tahun sebelum hijrah tepatnya pada 580 m di As - Sarah. Ayahnya merupakan seorang budak. Sedangkan ibunya juga seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Makkah. Mereka berasal dari Habsyah atau Ethiopia, sehingga Bilal dikenal dengan Bilal bin Rabah al Habsyi.

Dibesarkan di kota Makkah sebagai seorang budak milik keluarga Bani Abdu ad-Dar, lebih tepatnya keluarga Bani Jumah. Saat ayahnya meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum Quraisy.

Saat hampir semua pihak mencela Muhammad SAW yang menyatakan diri sebagai nabi dan mengajarkan Islam, dia mampu melihat nabi dari sudut pandang lain dan memutuskan untuk mengakui Islam sebagai agama yang benar.

Bilal merupakan salah satu dari assabiqunal awwalun (kelompok pertama pemeluk Islam). Dia adalah orang yang kali pertama menyerukan kalimat Tauhid, dari kelompok budak.

Batu Penindih Bilal

Bilal masuk Islam secara diam-diam. Namun akhirnya, keislaman Bilal terendus juga oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf. Umayyah yang merupakan orang terpandang di Mekkah malu karena budaknya masuk Islam.

Dia bersama centeng-centengnya menyiksa Bilal tanpa belas kasihan. Mereka menempatkan Bilal di padang pasir yang sangat panas dengan posisi terlentang dan tanpa sehelai kain pun melindungi tubuhnya. Belum cukup dengan itu mereka juga menindih dada Bilal dengan batu besar yang panas.

Bilal pun hanya berkata, 'Ahad, Ahad'. Semakin mereka meningkatkan penyiksaannya, Bilal terus mengatakan, 'Ahad, Ahad'.

Mereka memaksa Bilal agar kembali memuji Latta dan Uzza, tapi Bilal justru memuji dan mengagungkan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.”

Melihat penyiksaan tak terperi itu, akhirnya Bilal dibebaskan oleh Abu Bakar. Abu Bakar membeli Bilal dan lantas dimerdekakan olehnya. Dengan demikian, status Bilal bukan lagi seorang budak, melainkan sudah menjadi manusia merdeka, dan menjadi sahabat nabi yang mulia.

Muadzin Agung itu Bernama Bilal

Pada masa-masa awal di Madinah, umat Islam berkumpul di masjid untuk menunggu datangnya waktu shalat. Namun ketika waktu shalat telah datang, tidak ada seorang pun yang memberitahukannya. Seolah seperti tahu sama tahu mereka langsung shalat saja, tanpa ada penanda sebelumnya.

Masalah muncul ketika beberapa sahabat tinggal jauh dari masjid. Sebagian lainnya memiliki kesibukan yang bertambah hingga membuatnya tidak bisa menunggu waktu shalat di masjid. Atas hal itu, beberapa sahabat usul kepada Nabi Muhammad agar membuat tanda shalat. Sehingga, mereka yang jauh dari masjid atau yang memiliki kesibukan bisa tetap menjalankan shalat tepat.

Dimulai dari Abdullah bin Zaid yang didalam mimpinya bertemu seseorang berjubah hijau. Lelaki itu menyarakan Abdullah untuk mengucapkan serangkaian kalimat, sebagai penanda waktu shalat telah datang (yang dimaksud disini adalah lafadz adzan).

Dikuatkan dengan Ummar bin Khattab yang bermimpi sama dengan apa yang dimimpikan oleh Abdullah dan ditutup oleh Nabi Muhammad yang mendapat wahyu tentang adzan sebagai penyeru sholat umat islam.

Bilal yang memiliki suara merdu, kemampuan menghayati secara dalam, dan juga memiliki disiplin tinggi akhirnya dipilih langsung Nabi Muhammad sebagai muadzin pertama Islam.

Adzan Terakhir Pengguncang Madinah

Wafatnya Rasulullah SAW menyebabkan kesedihan terbesar umat Islam pada masa itu. Ketika itu Bilal bergegas meminta izin pada Abu Bakar untuk berhenti menjadi muadzin. Bilal pun lantas meninggalkan Kota Madinah.

Tapi banyak umat Islam yang meminta Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Itu demi untuk sedikit menyembuhkan kerinduan mereka terhadap Rasulullah. Bilal menolak dengan mata berkaca-kaca bahwa dirinya tidak sanggup untuk mengumandangkan adzan kembali. Seusai Umar bin Khatab menyambangi huniannya di Syam (yang kini bernama Suriah) untuk membujuknya.

Untuk kembali ke Madinah dan mengumandangkan adzan merupakan hal yang berat bagi Bilal. Itu karena ia merasa tidak mampu menanggung rasa rindu yang begitu dalam kepada Rasulullah.

Hingga pada akhirnya Bilal bertemu dengan Rasulullah SAW dalam mimpinya pada suatu malam. Hal ini pula yang membuat Bilal yakin untuk bersiap kembali ke Madinah, tepatnya ke makam Rasulullah SAW.

"Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek." Kata-kata murni dan tulus yang terucap dari lisan cucu kesayangan Rasulullah Husein dan Hasan. Bilal bertemu dengan mereka di sana.

Hingga akhirnya suara merdu sang muadzin kembali terdengar di seantero Madinah. Ketika lafadz, "Allahu Akbar," dikumandangkan oleh Bilal, seluruh Madinah mendadak senyap dan menghentikan seluruh aktifitas disana.

Semua penduduk Madinah terkejut! Tergetar hati mereka dan merindukan kembali suara yang bertahun-tahun menghilang. Suara ini pula yang mengingatkan mereka pada sosok Rasulullah SAW.

Setelah Bilal mengumandangkan lafadz, "Asyhadu anlaa ilaha illallah," seluruh warga Madinah berlarian ke arah sumber suara, menangis, dan berteriak histeris. Hingga akhirnya, Bilal sampai pada lafadz, "Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah," suaranya mulai terdengar parau.

Bilal bin Rabah terisak menyebutkan nama orang yang paling dirindukannya, sesak dadanya. Ia tidak sanggup untuk melanjutkan adzan pada lantunan lafadz tersebut. Suasana inilah yang kemudian berhasil membuat seluruh Madinah pecah oleh tangisan rindu pada sosok Rasulullah SAW.

(JAT)

Tags